Jumat, 21 September 2012

tugas ik


Prita dan Lorong Keadilan

Penulis : | Selasa, 19 Juli 2011 | 06:09 WIB
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Terdakwa kasus pencemaran nama baik RS Omni, Prita Mulyasari, berjalan meninggalkan kantornya di Kawasan Sabang, Jakarta Pusat, untuk menunggu mobil yang akan menghantarkannya menuju salah satu stasiun televisi swasta, Senin (11/7/2011). Walaupun hanya bisa pasrah, paska Mahkamah Agung memenangkan gugatan pidana jaksa penuntut umum, Prita masih berharap tidak ada penahanan terhadap dirinya.
M ALI ZAIDAN
Pengamat Hukum
Putusan Mahkamah Agung yang menghukum Prita Mulyasari merupakan putusan yang sah menurut hukum. Dikatakan sah karena telah sesuai dengan ketentuan hukum positif.
Pasca-putusan lembaga peradilan tertinggi itu, status terpidana akan disandang oleh Prita—meskipun dengan hukuman percobaan—dan upaya hukum untuk melawan putusan hanya melalui mekanisme peninjauan kembali (PK).
Praktis kedudukan Prita saat ini seperti berada di ujung lorong panjang bernama keadilan. Dari sudut pandangan hukum, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, putusan tersebut sah dan mengikat (res judicata pro veritate habetur), dengan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial.
Akan tetapi, pandangan normatif demikian akan berbeda ketika sekalian proses hukum dipandang dari sudut sosiologis. Putusan hukum bukan akhir dari segala-galanya. Masih terbuka jalan untuk mencapai keadilan, sepanjang pihak-pihak, terutama hakim, mampu menerjemahkan makna keadilan secara progresif.
Benarlah Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan seseorang apa yang menjadi haknya (Iustitiaest constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribendi). Putusan hakim harus dibaca sebagai......(selengkapnya baca Harian Kompas, Selasa 19 Juli 2011, halaman 7)
 
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Heru Margianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar