Prita dan Lorong Keadilan
Penulis : | Selasa, 19 Juli 2011 |
06:09 WIB
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Terdakwa kasus pencemaran nama baik
RS Omni, Prita Mulyasari, berjalan meninggalkan kantornya di Kawasan Sabang,
Jakarta Pusat, untuk menunggu mobil yang akan menghantarkannya menuju salah
satu stasiun televisi swasta, Senin (11/7/2011). Walaupun hanya bisa pasrah,
paska Mahkamah Agung memenangkan gugatan pidana jaksa penuntut umum, Prita
masih berharap tidak ada penahanan terhadap dirinya.
M ALI ZAIDAN
Pengamat Hukum
Pengamat Hukum
Putusan Mahkamah Agung yang menghukum
Prita Mulyasari merupakan putusan yang sah menurut hukum. Dikatakan sah karena
telah sesuai dengan ketentuan hukum positif.
Pasca-putusan lembaga peradilan
tertinggi itu, status terpidana akan disandang oleh Prita—meskipun dengan
hukuman percobaan—dan upaya hukum untuk melawan putusan hanya melalui mekanisme
peninjauan kembali (PK).
Praktis kedudukan Prita saat ini
seperti berada di ujung lorong panjang bernama keadilan. Dari sudut pandangan
hukum, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, putusan tersebut sah dan
mengikat (res judicata pro veritate habetur), dengan demikian mempunyai
kekuatan eksekutorial.
Akan tetapi, pandangan normatif
demikian akan berbeda ketika sekalian proses hukum dipandang dari sudut
sosiologis. Putusan hukum bukan akhir dari segala-galanya. Masih terbuka jalan
untuk mencapai keadilan, sepanjang pihak-pihak, terutama hakim, mampu
menerjemahkan makna keadilan secara progresif.
Benarlah Ulpianus menyatakan bahwa
keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan
seseorang apa yang menjadi haknya (Iustitiaest constans et perpetua voluntas
ius suum cuique tribendi). Putusan hakim harus dibaca sebagai......(selengkapnya
baca Harian Kompas,
Selasa 19 Juli 2011, halaman 7)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Heru Margianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar